Selasa, 05 Januari 2010

Lying Without a Soul

Kekasih yang terkasih. Tidakkah kamu merasa kehadiranku berarti untukmu? Akan kuceritakan bagaimana rasanya saat aku bersamamu. Didekatmu aku senang. Hatiku terus berdebar kencang setiap menatapmu, walau hanya sebatas punggungmu saja.Tanganku pun bergetar saat memegang pinggangmu. Dan tiap kataku tersedak di tenggorokan saat harus bicara padamu.

Kekasih... apa kamu merasakan hal yang sama dengan apa pun aku rasakan terhadapmu?

Kekasih... Kamu mendengarku? Kamu menatapku penuh arti. Menatapku lekat-lekat. Itu berarti kamu memperhatikanku. Tapi apa kamu mengerti tiap kata yang kuucapkan?!

Kekasih...?!

Kuraba wajahnya. Kulitnya mulai dingin. Namun matanya tetap hangat menatapku. Begitu juga dengan bibirnya.

Kekasih...?!

Kupanggil ia sekali lagi. Kali ini aku sadar, tatapannya kosong. Tak ada lagi kehangatan. Kusentuh wajahnya, semakin dingin. Bahkan makin membatu.

Kupukul sekali pada wajahnya, tak ada reaksi.
Kupukul lebih keras. Namun ia seperti patung. Diam.

Kudorong tubuhnya, dan dia terkulai diatas lantai. Kaku.


Hatiku berdegup kencang. Bukan karena kebahagian saat menatap wajahnya, menyentuhnya, atau bicara padanya, melainkan karena aku ketakutan.
Perlahan kuhampiri dia. Kuraba dadanya. Tapi yang kutemukan adalah kekosongan. Ia tak punya hati lagi. Dan itulah sebabnya ia jadi dingin, tak bernyawa.

Dia sudah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jujurlah, karena selain sabar, orang jujur disayang Tuhan!